Skip to main content

Literacy Coffee: “Antara Kopi dan Buku”

Medan, Di tengah perkembangan dunia teknologi, buku konvensional atau buku yang terbuat dari kertas, menjadi sesuatu yang semakin asing dan makin sulit ditemukan. Banyak orang yang kemudian beralih ke buku digital, sehingga buku menjadi lebih jarang ditemukan.
Atas alasan minat baca yang sangat minim serta buku yang sudah mulai asing, Literacy Coffee memadukan konsep, kedai kopi dan buku, yang disertai dengan acara mengulas buku setiap minggunya. Hal ini dilakukan agar buku tidak semakin asing, terutama untuk kaum muda.
Literacy Coffee terletak di Jalan Jati II No. 1, belakang Kampus ITM, Teladan, Medan. Jhon Fawer Siahaan, sebagai pendiri, menyebutkan,  perpaduan antara kedai kopi dan buku yang digagasnya menjadi gerakan awal baginya dan rekan-rekannya, untuk mengembalikan ‘kejayaan’ buku.
“Memang kami menyadari bahwa hal itu bukan sebuah solusi yang produktif, namun itu menjadi sebuah gerakan awal, bagaimana pengunjung bisa mengenal buku. Dari sekian banyak koleksi yang dimiliki Literacy Coffee, diharapkan bisa memikat pengunjung, dan perlahan tapi pasti, akan mengembalikan buku ke tahtanya,” ujarnya sebagai gambaran harapan tentang buku.
Menarik dan unik, di Literacy Coffee terpajang dan dapat dibaca setiap pengunjung kedai ini, koleksi yang didominasi buku-buku kajian lokal yang berkaitan dengan Sumatera. Hal itu dilakukan untuk memenuhi minimnya lembaga-lembaga yang concern terhadap sejarah lokal.
Keberadaan Literacy Coffee menjadi jawaban bagi mereka yang ingin melakukan riset tentang kajian lokal. Di samping kegiatan bedah buku, kedai kopi yang dihiasi mural karya para perupa muda Sumatera Utara, Fedricho Ommz Purba dkk, juga membuka kelas menulis.
“Diharapkan, dari Literacy Coffee, kelak muncul penulis-penulis lokal untuk memperkaya kajian lokal, sebagai perimbangan atas dominasi penulis asing terkait sejarah Nusantara. Saat ini penulisan sejarah Nusantara masih didominasi oleh penulis asing,”sebut Jhon Fawer di balik harapannya.
Selain menjadi tempat yang terbuka bagi para pecinta dan peminat buku, untuk mengulas buku, dan dengan kelas penulisan sejarah, Literacy Coffee membuka kegiatan diskusi yang sifatnya tematik, pameran dan kegiatan sastra. Tujuannya untuk mencoba mengulang kembali masa kejayaan “Soematera Tempo Doeloe”.
“Kegiatan-kegiatan yang kita selenggarakan secara rutin maupun berkala, bisa menjadi pemicu munculnya sastrawan, perupa dan penulis-penulis baru. Dulu, Sumatera melahirkan banyak tokoh intelektual untuk Negeri ini, dan melahirkan kembali tokoh-tokoh intelektual, menjadi impian kita dari kedai ini,” harap Jhon Fawer yang juga dikenal sebagai founder Literasi Sumatera, sebuah lembaga independen yang mendukung perkembangan literasi, dokumentasi, serta pusat kajian, terutama tentang Sumatera.
Jhon Fawer menyampaikan pesan tentang pentingnya melahirkan produk-produk tulisan oleh para penulis lokal.
“Mungkin gerakan ini dapat memberikan sumbangsih kepada pemerintah atas program pencanangan literasi. Kami menyadari bahwa gerakan literasi bukan semata persoalan melek buku saja, tetapi bagaimana munculnya produk-produk tulisan lokal yang mampu mengimbangi tulisan-tulisan asing, agar kelak kita bukan hanya mengonsumsi buku yang ditulis asing, tapi kita juga punya produk tulisan yang  dibuat anak bangsa ini,” demikian pesannya.
Dari pengalaman BatakToday sebelumnya, sejak dibuka pada awal September 2017, Literacy Coffee bisa buka hingga larut malam, ketika orang-orang muda pecinta buku terlanjur terbenam dengan bacaannya, atau bahkan diskusi menarik tentang buku diantara mereka.
Di akhir relis yang diterima pada Minggu petang (15/10/2017), Jhon Fawer melayangkan  joke tentang kopi dan buku.
Membacalah, bahkan hingga kopimu tinggal ampas....
Sumber : Batak Today

Comments

Popular posts from this blog

SERIBU SAJAK TAO TOBA (JILID I)

Buku setebal 368 halaman yang berisi 250 judul puisi ini lahir karena keprihatinan terhadap kondisi Danau Toba. Uniknya, tak semua penulis di buku ini berlatar belakang sastrawan sehingga tak mengherankan jika sebagian besar puisi ini terbebas dari rima, jenis ataupun metode penulisan puisi. Kebebasan dari aturan berpuisi ini membuat sekuruh penulis bebas menyuarakan cinta mereka kepada Danau Toba lewat berbagai ekspresi emosi : marah, sedih, teguran, peringatan. Seperti pada bait kedua puisi berjudul  Untuk Apa  karya Amani Sehat Siahaan : Untuk apa Kamu datang kemari Kalau hanya untuk mengotori danauku Untuk menyebarkan limbah limbahmu Dengan bahasa sederhana apa adanya, puisi itu menjadi pertanyaan kepada semua pihak. Tak hanya kepada perusahaan yang membangun bisnis disana, tapi juga kepada para pengunjung dan semua pihak yang berkepentingan dengan Danau Toba. Seribu Sajak Danau Toba Jilid I hadir sebagi bentuk petisi dari orang-orang yang peduli terhadap kelangsu

Ingot Mandailing Godang

Sosialiasi Geopark Kaldera Toba Seribu Sajak untuk Tao Toba

METROSIANTAR.com, SIMALUNGUN  – Pentas seni budaya ‘Dolok Sipiak’ akan digelar sebagai bentuk sosialisasi Geopark Kaldera Toba. Bentuk-bentuk kegiatan antara lain workshop dan melukis bersama siswa, seni daur ulang, apresiasi sastra, tari, monolog serta penulisan buku puisi ‘Seribu Sajak Tao Toba’ Jilid II Kegiatan tersebut direncanakan digelar pada 6-7 Desember di Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon. Kepada METRO, Rabu (3/12), Sekjen Rumah Karya Indonesia (RKI) Jhon Fawer Siahaan memaparkan, RKI bekerjasama dengan pegiat lingkungan dari Jendela Toba serta seniman di Parapat akan menggelar sosialisasi Geopark Kaldera Toba yang dikemas dalam bentuk karya seni. Jhon menjelaskan, sosialisasi Geopark Kaldera Toba harus terus menerus dilakukan, mengingat wacana ini masih kurang populer di masyarakat yang berdomisili di kawasan Kaldera Toba. RKI juga ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan Geopark Kaldera Toba, karena hal itu merupakan kebutuhan banyak orang. RKI bersama J